Oleh : Santri Ciganjur
Pasca Reformasi 1998, gerakan mahasiwa kita mandul. Ini terjadi karena organisasi mahasiswa terjebak dalam politik sektarian, minus intelektualisme. Organ mahasiwa tiba saja menjadi ruang pengkaderan “calon politisi”, yang abai terhadap persoalan substantif pendidikan, dan masyarakat.
Mandulnya gerakan mahasiswa lahir dari sini. Memang populisme masih terlihat, setidaknya dalam perlawanan mahasiswa atas kenaikan BBM dengan gugurnya mahasiswa Universitas Nasional, Juni kemarin. Tetapi, gerak itu lahir dari aktivisme luar kampus, bukan kesatuan gerak intra-kampus. Pasca penumbangan Soeharto, gerakan mahasiswa tak menyatu, dan akhirnya tak mampu melaksanakan tugas sejarahnya: oposisi intelektual.
Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, orientasi politik kampus yang “berebut di kandang”. Organ mahasiswa kini lebih sibuk dengan pemilu kampus, untuk mendapatkan kursi strategis, tentu demi kepentingan masing organ. Di sini telah tereduksi makna gerakan mahasiswa, dari politik intelektual, kepada politik praktis. Yang satu merujuk pada organisme intelektual Gramscian yang menjadikan intelektualisme sebagai pijak pembelaan rakyat. Yang kedua mengacu pada struggle to power berlandas sektarianisme. Arah kedua inilah yang membuahkan satu citra, bahwa aktivis organisasi mahasiswa; BEM, PMII, HMI, LDK, dsb, tentu akan menjelma politisi partai ketika mereka lulus. Citra yang tak selalu benar, tetapi sering terwujud.
Kedua, ketidakmampuan mencipta ruang publik. Kampus adalah sebuah masyarakat, yang tentu memiliki persoalan bersama. Masing organ tak mampu merumuskan kontrak sosial, karena mereka masih terpenjara dalam kepentingan kelompok. Dari sini mustahil organ mahasiswa mampu memberikan advokasi atas kebijakan kampus yang tidak partisipatoris. Apalagi fakta bahwa organ intra selayak BEM, sering berperan sebagai “anak rektor”, bukan representasi mahasiswa untuk menyuarakan haknya. Posisi inilah yang membuat BEM tak mampu melaksanakan program substantif. Program BEM kita sering bersifat formalis, dengan kualitas intelektual pasar: apa yang lagi hangat, maka diangkat. Tak ada program jangka panjang, terkait dengan pembaruan pendidikan, reposisi politik mahasiswa, atau reformasi negara.
Secara makro, hal ini lahir dari paradigma Pendidikan Tinggi kita yang ternyata belum mencapai andragogi: pendidikan orang dewasa. Ia masih berkutat dalam pedagogi (pendidikan untuk anak), yang memisahkan pendidikan dari problem real masyarakat. Ada jurang kesadaran antara pengetahuan dalam kelas, dengan visi organ mahasiswa. Kelas tidak mampu menjadi laboratorium akademik, bagi sebuah gerakan intelektual mahasiswa, lintas kelompok, lintas organisasi. (telah dimuat di Opini Mahasiswa Koran Seputar Indonesia.
sebenarnya akselerasi kemandulan orientatif mahasiswa disebabkan bukan karena adanya suatu sistem edukatif yang konsepsional pada masing-masing tempat maupun wadah sebuah organisasi terlebih setelah pecahnya globalisasi reformasi 98. namun causalitas urgensinya adalah titk nadzir peradaban yang membusuk bertahun-tahun. artinya endapan patologis pengajaran secara historis maupun praksis tidak cukup mampu dipahami oleh mahasiswa terlebih era setelah reformasi itu sendiri.
oleh karenanya sebuah perubahan yang diusung adalah petanda dan penanda dalam status tertentu yang tidak socil-arbitrer. maka ada benarnya jika Hall (1972) mengatakan jika sebuah penanda yang matang terletak pada prosesi kebenaran perbedaan dan pergeseran ideologi peranan petanmda dan penandanya.
apakah notanbenenya mahsiswa masa kini masih layak diposisikan sebagai geneologi serpihan bangsa Indonesia baru dalam menjawab pengawantahan globalisme mas kini?